ILMU
ALAMIAH DASAR
ISTIQOMAH
(NPM:14513566)
1PA02
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
GUNADARMA
Kearifan
Lokal
Budaya yang tersebar dari Sabang hingga Merauke,
dan dari Miangas sampai Pulau Rote menyimpan daya pikat masing-masing.
Budaya-budaya itu menyatu dalam sanubari keindonesiaan yang sejatinya harus
tertancap kuat dalam hidup dan kehidupan warga bangsanya. Tidak hanya kaya akan
budaya seperti tari, alunan musik, kerajinan, pakaian, rumah adat, kuliner,
bahkan hingga kearifan lokal (local wisdom).
Kearifan
lokal dapat didefinisikan sebagai suatu sintesa budaya yang diciptakan oleh
aktor-aktor lokal melalui proses yang berulangulang, melalui internalisasi dan
interpretasi ajaran agama dan budaya yang disosialisasikan dalam bentuk
norma-norma dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat.
Kearifan lokal merupakan tata aturan tak tertulis yang menjadi acuan masyarakat
yang meliputi seluruh aspek kehidupan, berupa:
1. tata
aturan yang menyangkut hubungan antar sesama manusia, misalnya dalam interaksi
sosial baik antar individu maupun kelompok, yang berkaitan dengan hirarkhi
dalam kepemerintahan dan adat, aturan perkawinan antar klan, tata krama dalam
kehidupan sehari-hari;
2. tata
aturan menyangkut hubungan manusia dengan alam, binatang, tumbuh-tumbuhan yang
lebih bertujuan pada upaya konservasi alam, seperti di Maluku ada sasi darat
dan sasi laut;
3. tata
aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib, misalnya Tuhan dan
roh-roh gaib. Kearifan lokal dapat berupa adat istiadat, institusi, kata-kata
bijak, pepatah (Jawa: parian, paribasan, bebasan dan saloka).
Dilihat
dari keasliannya, kearifan lokal bisa dalam bentuk aslinya maupun dalam bentuk
reka cipta ulang (institutional development) yaitu memperbaharui institusi-institusi
lama yang pernah berfungsi dengan baik dan dalam upaya membangun tradisi, yaitu
membangun seperangkat institusi adat-istiadat yang pernah berfungsi dengan baik
dalam memenuhi kebutuhan sosial-politik tertentu pada suatu masa tertentu, yang
terus menerus direvisi dan direkacipta ulang sesuai dengan perubahan kebutuhan
sosial-politik dalam masyarakat. Perubahan ini harus dilakukan oleh masyarakat
lokal itu sendiri, dengan melibatkan unsur pemerintah dan unsur non-pemerintah,
dengan kombinasi pendekatan top-down dan bottom-up (Amri Marzali, 2005). Sebenarnya,
hampir semua–kalau tidak bisa dikatakan seluruh– masyarakat memiliki kearifan
lokal yang bersumber dari kebudayaan masing-masing. Misalnya, etnis Jawa–hampir
secara umum–memiliki konsep untuk meredam konflik dengan jothaan atau
neng-nengan [tidak bertegur sapa atau pantang berbicara dengan lawan
konfliknya] (FranzMagnis-Suseno,1988); Etnis Melayu memiliki kebijakan lokal,
kalau sudah makan bersama maka tidak ada perseteruan lagi; Etnis Dayak dengan rumah
betang-nya; Etnis Minahasa dengan BKSAUA dan semboyan “torang samua basodara”;
dan Etnis Ambon memiliki pela gandong. Namun ternyata tidak semua kearifan
lokal itu fungsional sepanjang masa. Konflik berdarah yang menelan banyak
korban di Ambon telah menjadi fakta sejarah bahwa kearifan lokal pela gandong
sudah tidak fungsional lagi. Padahal dahulu pela gandong sangat dikagumi karena
mampu mengatur kehidupan bersama, sekurang-kurangnya antara dua umat beragama
(Muslim danKristiani). Dengan adanya institusi ini mereka dapat hidup harmonis,
bahkan dapat berinteraksi dalam bentuk kerjasama dalam kehidupan sosial,kemasyarakat
dan keagamaan. Namun kemudian di antara dua umat beragama itu terjadi konflik
terbuka dengan intensitas yang tinggi dan berkepanjangan, sehingga banyak
menelan korban jiwa dan harta benda. Banyak pakar yang berpendapat bahwa menghilangnya
fungsi pela gandong karena intervensi Pemerintah, khususnya penerapan UU Nomor
5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang yang sangat kental budaya
Jawa Ini telah menghilangkan kekuasaan “raja negeri” (kepala desa tradisional).
Padahal kelestarian adat lama, termasuk institusi pela gandong terletak di
tangan “raja negeri”. Ciri-ciri lain dari undang-undang produk orde baru ini
adalah “mengharamkan” perbedaan pendapat. Semua harus seragam sesuai dengan
tuntutan dari pemerintah pusat. Menurut Nicola Frost (2004) sebagaimana dikutip
Amri Marzali, undangundang ini menghilangkan kemampuan untuk mengkooptasi perbedaan
yang sebelumnya hidup di dalam masyarakat Maluku. Padahal inti dari institusi
pela gandong adalah pengakuan atas perbedaan dalam kesetaraan dengan cara
membangun kerjasama yang positif. Institusi kerjasama ini, khususnya antara
negeri Kristen dengan negeri islam yang telah menjadi kebanggaan dan ciri-ciri
khas Maluku (Amri Marzali, 2005). Tentu saja, intervensi Pemerintah tersebut
bukan satu-satunya faktor penyebab tidak fungsionalnya institusi pela gandong.
Kedatangan transmigran tiga etnis – Buton, Bugis dan Makassar (BBM)–ke Ambon
disinyalir menimbulkan ketidakseimbangan perjanjian antra dua negeri Muslim dan
negeri Kristen
tersebut. Sementara konflik berdarah di
Ambon tidak bisa diselesaikan dengan institusi yang pernah menjadi kebanggaan
itu, sehingga mengundang inisiatif fihak pemerintah untuk
menyelesaikan konflik dengan jalan perdamaian.
Namun perdamaian itu pun diragukan dapat menyelesaikian konflik. Karena setelah
terjadi perdamaian, kekerasan masih kembali meletus. Secara alami kebijakan-kebijakan
lokal pun muncul untuk mengatasi konflik, karena bagaimanapun juga ada saling
ketergantungan sesama anggota masyarakat. Mereka yang terlibat kekerasan tetap
saling membutuhkan. Mereka berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan
cara saling membeli atau barter. Bahkan harta kekayaan yang tidak bisa bergerak
atau tanah milik (property) pun dipertukarkan oleh mereka. Kebijakan lokal
seperti itu telah mengkondisikan mereka
bisa hidup rukun kembali atau paling tidak, dapat
memperkecil kemungkinan terjadi kekerasan.
Ini berarti masyarakat telah melakukan institutional development, yaitu
memperbaharui institusi-institusi lama yang pernah berfungsi baik, bukan
membangun lagi pela gandong seperti bentuk aslinya. Dengan kata lain masyarakat
Ambon telah melakukan rekacipta pela-gandong yang baru, yang tepat guna untuk
menjawab tantangan sosial-politik masa kini di Maluku (Amri Marzali, 2005).
Upaya-upaya menyelesaikan,
meredam dan mengantisipasi terjadinya konflik atau dalam upaya memelihara
kerukunan antarumat beragama dengan konservasi, revitalisasi dan rekacipta
kearifan lokal ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Ambon saja, tetapi
juga dilakukan oleh berbagai masyarakat di berbagai daerah. Sebagai bangsa yang
memiliki banyak pengalaman tentang upaya pemeliharaan kemajemukan di bawah kebijaksanaan
para pendiri bangsa baik berupa budaya maupun kearifan lokal, dewasa ini
kebijakan pembangunan agama semakin banyak melibatkan masyarakat dan upaya
revitalisasi kearifan lokal. Sehubungan dengan upaya konservasi, revitalisasi maupun
rekacipta kearifan lokal, Harmoni nomor ini dengan tema “Kearifan Lokal sebagai
Landasan Pembangunan Bangsa” menampilkan tulisan M. Ridwan Lubis, “Kebijakan Pembangunan
Agama di Indonesia dalam Lintasan Sejarah”, Marwan Salahuddin, “Konservasi
Budaya Lokal dalam Pembentukan Harmoni Sosial”, A. Syafi’i Mufid, “Revitalisasi
Kearifan Lokal dalam Pemberdayaan
Masyarakat”, M. Yusuf Asry, “Membedah
Forum Kerukunan Umat Beragama: Studi tentang Konsistensi Organisasi dan Tugas
FKUB Provinsi Sumatera Utara”, dan Haidlor Ali Ahmad, “Peranan FKUB Sulawesi
Tengah dan FKUB Kabupaten Poso”. Selain tulisan tersebut, Harmoni menurunkan beberapa
tulisan lainnya, yang ada relevansinya dengan tugas dan fungsi (tusi)
Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Artikel tersebut ditulis oleh Abd. Rahman
Masud, “Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah, Two ofIndonesia’s Muslim Giants:
Tension Within Intimacy (Harmony), Endang Turmudi, “Akar Konflik Etnik dan
Agama di Thailand Selatan”. Selebihnya, beberapa artikel hasil penelitian dan
telaah pustaka.
Sebagai penutup, Ketua Dewan Redaksi
menginformasikan beberapa tambahan sebagaimana dianjurkan dalam panduan
pengelolaan jurnal ilmiah yang dikeluarkan oleh Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) berupa (1)
abstrak yang pada nomor sebelumnya hanya berbahasa Inggris saja, pada nomor ini
ditambah abstrak berbahasa Indonesia; (2) Pedoman Penulisan Jurnal Harmoni.
Ruang
Lingkup Kearifan Lokal
Kearifan lokal merupakan fenomena yang luas dan
komprehensif. Cakupan kearifan lokal cukup banyak dan beragam sehingga sulit
dibatasi oleh ruang. Kearifan tradisional dan kearifan kini berbeda dengan
kearifan lokal. Kearifan lokal lebih menekankan pada tempat dan lokalitas dari
kearifan tersebut sehingga tidak harus merupakan sebuah kearifan yang telah
diwariskan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal bisa merupakan kearifan
yang belum lama muncul dalam suatu komunitas sebagai hasil dari interaksinya
dengan lingkungan alam dan interaksinya dengan masyarakat serta budaya lain.
Oleh karena itu,
kearifan
lokal tidak selalu bersifat tradisional karena dia dapat mencakup kearifan masa
kini dan karena itu pula lebih luas maknanya daripada kearifan tradisional.
Untuk membedakan kearifan lokal yang baru saja
muncul dengan kearifan lokal
yang
sudah lama dikenal komunitas tersebut, dapat digunakan istilah: kearifan kini,
kearifan baru, atau kearifan kontemporer. Kearifan tradisional dapat disebut kearifan
dulu atau kearifan lama. Dilihat dari keasliannya, kearifan lokal bisa dalam
bentuk aslinya maupun dalam bentuk reka cipta ulang (institutional).
Esensi kemajuan yang dicapai berbagai bangsa tersebut menunjukkan bahwa
pengembangan karakter suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari aspek budaya yang
selaras dengan karakteristik masyarakat bangsa itu sendiri. Budaya yang digali
dari kearifan lokal bukanlah penghambat kemajuan dalam era global, namun justru
menjadi penyaring budaya dan kekuatan transformasional yang luar biasa dalam
meraih kejayaan bangsa. Oleh karena itu, menggali nilai-nilai kearifan lokal
merupakan upaya strategis dalam membangun karakter bangsa di era global.
Kearifan lokal, dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai
kebijaksanaan setempat (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local
knowledge) atau kecerdasan setempat (localgenious). Ketiganya merujuk
pada bentuk pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan
yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab
berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Konsepsi yang disebutkan
terakhir adalah bahasan yang paling sering dijumpai dan dikupas saat ini.
Berdasarkan waktu pemunculan tersebut di atas, akan
hadir kearifan dalam kategori yang beragam. Dalam hal ini terdapat dua jenis
kearifan lokal, yaitu: (1) kearifan lokal klasik, lama, tradisional, dan; dan
(2) kearifan lokal baru, masa kini, kontemporer. Dari sisi filosofi dasarnya,
kearifan dapat dikategorikan dalam dua aspek, yaitu: (1) gagasan, pemikiran,
akal budi yang bersifat abstrak; dan (2) kearifan lokal yang berupa hal-hal
konkret, dapat dilihat. Kearifan lokal kategori gagasan mencakup: berbagai pengetahuan, pandangan, nilai serta
praktik- praktik dari sebuah komunitas baik yang diperoleh dari generasi
sebelumnya dari komunitas tersebut maupun yang didapat oleh komunitas tersebut
di masa kini, yang tidak berasal dari generasi sebelumnya, tetapi dari berbagai
pengalaman di masa kini, termasuk juga dari kontaknya dengan masyarakat atau
budaya lain.
Kearifan lokal kategori hal konkret biasanya berupa benda-benda artefak, yang
menghiasi
hidup manusia, dan bermakna simbolik. Di Indonesia, kearifan lokal jelas
mempunyai makna positif karena kearifan selalu dimaknai secara baik atau
positif. Pemilihan kata kearifan lokal disadari atau tidak merupakan sebuah
strategi untuk membangun, menciptakan citra yang lebih baik mengenai
pengetahuan lokal yang memang tidak selalu
orang
lantas bersedia menghargai pengetahuan tradisional, pengetahuan lokal warisan
nenek moyang dan kemudian bersedia bersusah payah memahaminya untuk bisa
memperoleh berbagai kearifan yang ada dalam suatu komunitas, yang mungkin
relevan untuk kehidupan manusia di masa kini dan di masa yang akan datang.
Dalam setiap jengkal hidup manusia selalu ada kearifan lokal. Kearifan lokal dapat
muncul pada: (1) pemikiran, (2) sikap, dan (3) perilaku. Ketiganya hampir
dipisahkan. Jika ketiganya ada yang timpang, maka kearifan lokal tersebut semakin
pudar. Dalam pemikiran, sering terdapat akhlak mulia, berbudi luhur, Tetapi
kalau mobah mosik, solah bawa, tidak baik juga dianggap tidak arif,
apalagi kalau tindakannya serba tidak terpuji. Apa saja dapat tercakup dalam
kearifan lokal.
Paling
tidak cakupan luas kearifan lokal dapat meliputi: (1) pemikiran, sikap, dan
tindakan berbahasa, berolah seni, dan bersastra, misalnya karya-karya sastra
yang bernuansa filsafat dan niti (wulang); (2) pemikiran, sikap, dan tindakan
dalam berbagai artefak budaya, misalnya keris, candi, dekorasi, lukisan, dan
sebagainya; dan (3) pemikiran, sikap, dan tindakan sosial bermasyarakat, seperti
unggah- ungguh, sopan santun, dan udanegara. Secara garis besar,
kearifan lokal terdiri dari hal-hal yang tidak kasat mata (intangible)
dan hal-hal yang kasat mata (tangible). Kearifan yang tidak kasat mata
berupa gagasan mulia untuk membangun diri, menyiapkan hidup lebih bijaksana,
dan berkarakter mulia. Sebaliknya, kearifan yang berupa hal-hal fisik dan
simbolik patut ditafsirkan kembali agar mudah diimplementasikan ke dalam kehidupan.
Dilihat dari jenisnya, local wisdom dapat diklasifikasikan menjadi lima
kategori, yaitu makanan, pengobatan, teknik produksi, industri rumah tangga, dan
pakaian. Klasifikasi ini tentu saja tidak tepat sebab masih banyak hal lain yang
mungkin jauh lebih penting. Oleh sebab itu, kearifan lokal tidak dapat dibatasi
atau dikotak-kotak. Kategorisasi lebih kompleks dikemukakan Wagiran (2010) yang
meliputi pertanian, kerajinan tangan, pengobatan herbal, pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan, perdagangan, seni budaya, bahasa daerah, philosophi, agama
dan budaya serta makanan tradisional.
Contoh
Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah warisan masa lalu yang berasal dari
leluhur, yang tidak hanya terdapat dalam sastra tradisional (sastra lisan atau
sastra tulis) sebagai refleksi masyarakat penuturnya, tetapi terdapat dalam
berbagai bidang kehidupan nyata, seperti filosofi dan pandangan hidup,
kesehatan, dan arsitektur. Dalam dialektika hidup-mati (sesuatu yang hidup akan
mati), tanpa pelestarian dan revitalisasi, kearifan lokal pun suatu saat akan
mati. Bisa jadi, nasib kearifan lokal mirip pusaka warisan leluhur, yang
setelah sekian generasi akan lapuk dimakan rayap. Sekarang pun tanda pelapukan
kearifan lokal makin kuat terbaca. Kearifan lokal acap kali terkalahkan oleh
sikap masyarakat yang makin pragmatis, yang akhirnya lebih berpihak pada
tekanan dan kebutuhan ekonomi. Sebagai contoh, di salah satu wilayah hutan di
Jawa Barat, mitos pengeramatan hutan yang sesungguhnya bertujuan melestarikan
hutan/alam telah kehilangan tuahnya sehingga masyarakat sekitar dengan masa
bodoh membabat dan mengubahnya menjadi lahan untuk berkebun sayur (Kompas,
23 April 2011). Ungkapan Jawa tradisional mangan ora mangan waton kumpul (‘biar tidak makan yang penting
berkumpul [dengan keluarga]’) sekarang pun makin kehilangan maknanya: banyak
perempuan di pedesaan yang berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk bekerja
di mancanegara dengan risiko terpisah dari keluarga daripada hidup menanggung
kemiskinan dan kelaparan.
Kearifan lokal hanya akan abadi kalau kearifan lokal terimplementasikan dalam
kehidupan konkret sehari-hari sehingga mampu merespons dan menjawab arus zaman
yang telah berubah. Kearifan lokal juga harus terimplementasikan dalam
kebijakan negara, misalnya dengan menerapkan kebijakan ekonomi yang berasaskan
gotong royong dan kekeluargaan sebagai salah satu wujud kearifan lokal kita.
Untuk mencapai itu, perlu implementasi ideologi negara (yakni Pancasila) dalam
berbagai kebijakan negara. Dengan demikian, kearifan lokal akan efektif
berfungsi sebagai senjata—tidak sekadar pusaka—yang membekali masyarakatnya
dalam merespons dan menjawab arus zaman.
Revitalisasi kearifan lokal dalam merespons berbagai persoalan akut bangsa dan
negara ini, seperti korupsi, kemiskinan, dan kesenjangan sosial hanya akan
berjalan dengan dukungan kebijakan negara dan keteladanan. Tanpa itu, kearifan
lokal hanya merupakan aksesori budaya yang tidak bermakna. Kearifan lokal di
banyak daerah pada umumnya mengajarkan budaya malu (jika berbuat salah). Akan
tetapi, dalam realitas sekarang, budaya malu itu telah luntur. Peraturan yang
ada pun kadang-kadang memberi peluang kepada seorang terpidana atau bekas
terpidana untuk menduduki jabatan publik. Jadi, budaya malu sebagai bagian dari
kearifan lokal semestinya dapat direvitalisasi untuk memerangi korupsi, apalagi
dalam agama pun dikenal konsep halal—haram (uang yang diperoleh dari korupsi
adalah haram).
Di antara berbagai penggerusan kearifan lokal saat ini, di sisi lain kita masih
menyaksikan pemanfaatan kearifan lokal, misalnya di dunia medis terjadi
pengembangan obat herbal yang merupakan warisan leluhur di bidang medis yang
kemudian disempurnakan dengan standar farmakologi yang berlaku. Jadi, itu
adalah salah satu wujud kearifan lokal yang telah memperoleh revitalisasi dalam
masyarakat.
Di tengah derasnya arus investasi asing di bidang kuliner yang merambah ke
negeri ini (seperti Kentucky Fried Chicken, Mc Donald, dan Pizza Hut), kita
masih dapat menyaksikan menu kuliner lokal (masakan Sunda, Padang, dan Yogya) tetap
eksis dan sebagian hadir dalam tata kelola restoran modern. Itu adalah
revitalisasi kearifan lokal di bidang kuliner.
Sementara itu, gotong royong sebagai wujud kearifan lokal kita tampaknya belum
terimplementasikan dalam perekonomian nasional yang makin didominasi oleh asing
dan perusahaan multinasional dengan semangat neoliberalisme dan neokapitalisme.
Perekonomian nasional yang berpijak dan tumbuh dari rakyat setidaknya
mencerminkan identitas dan nasionalisme kita. Ketergantungan ekonomi pada asing
akan menyebabkan kita dengan mudah didikte oleh kekuatan ekonomi dan politik
asing dan hal itu akan mencederai kedaulatan kita sebagai bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
www.etnomusikologiusu.com/artikel-kearifan-lokal.html