Selasa, 15 Juli 2014

Kearifan Lokal

ILMU ALAMIAH DASAR


ISTIQOMAH (NPM:14513566)

1PA02
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GUNADARMA


Kearifan Lokal

Budaya yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, dan dari Miangas sampai Pulau Rote menyimpan daya pikat masing-masing. Budaya-budaya itu menyatu dalam sanubari keindonesiaan yang sejatinya harus tertancap kuat dalam hidup dan kehidupan warga bangsanya. Tidak hanya kaya akan budaya seperti tari, alunan musik, kerajinan, pakaian, rumah adat, kuliner, bahkan hingga kearifan lokal (local wisdom).
Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu sintesa budaya yang diciptakan oleh aktor-aktor lokal melalui proses yang berulangulang, melalui internalisasi dan interpretasi ajaran agama dan budaya yang disosialisasikan dalam bentuk norma-norma dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat. Kearifan lokal merupakan tata aturan tak tertulis yang menjadi acuan masyarakat yang meliputi seluruh aspek kehidupan, berupa:
1.      tata aturan yang menyangkut hubungan antar sesama manusia, misalnya dalam interaksi sosial baik antar individu maupun kelompok, yang berkaitan dengan hirarkhi dalam kepemerintahan dan adat, aturan perkawinan antar klan, tata krama dalam kehidupan sehari-hari;
2.      tata aturan menyangkut hubungan manusia dengan alam, binatang, tumbuh-tumbuhan yang lebih bertujuan pada upaya konservasi alam, seperti di Maluku ada sasi darat dan sasi laut;
3.      tata aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib, misalnya Tuhan dan roh-roh gaib. Kearifan lokal dapat berupa adat istiadat, institusi, kata-kata bijak, pepatah (Jawa: parian, paribasan, bebasan dan saloka).
Dilihat dari keasliannya, kearifan lokal bisa dalam bentuk aslinya maupun dalam bentuk reka cipta ulang (institutional development) yaitu memperbaharui institusi-institusi lama yang pernah berfungsi dengan baik dan dalam upaya membangun tradisi, yaitu membangun seperangkat institusi adat-istiadat yang pernah berfungsi dengan baik dalam memenuhi kebutuhan sosial-politik tertentu pada suatu masa tertentu, yang terus menerus direvisi dan direkacipta ulang sesuai dengan perubahan kebutuhan sosial-politik dalam masyarakat. Perubahan ini harus dilakukan oleh masyarakat lokal itu sendiri, dengan melibatkan unsur pemerintah dan unsur non-pemerintah, dengan kombinasi pendekatan top-down dan bottom-up (Amri Marzali, 2005). Sebenarnya, hampir semua–kalau tidak bisa dikatakan seluruh– masyarakat memiliki kearifan lokal yang bersumber dari kebudayaan masing-masing. Misalnya, etnis Jawa–hampir secara umum–memiliki konsep untuk meredam konflik dengan jothaan atau neng-nengan [tidak bertegur sapa atau pantang berbicara dengan lawan konfliknya] (FranzMagnis-Suseno,1988); Etnis Melayu memiliki kebijakan lokal, kalau sudah makan bersama maka tidak ada perseteruan lagi; Etnis Dayak dengan rumah betang-nya; Etnis Minahasa dengan BKSAUA dan semboyan “torang samua basodara”; dan Etnis Ambon memiliki pela gandong. Namun ternyata tidak semua kearifan lokal itu fungsional sepanjang masa. Konflik berdarah yang menelan banyak korban di Ambon telah menjadi fakta sejarah bahwa kearifan lokal pela gandong sudah tidak fungsional lagi. Padahal dahulu pela gandong sangat dikagumi karena mampu mengatur kehidupan bersama, sekurang-kurangnya antara dua umat beragama (Muslim danKristiani). Dengan adanya institusi ini mereka dapat hidup harmonis, bahkan dapat berinteraksi dalam bentuk kerjasama dalam kehidupan sosial,kemasyarakat dan keagamaan. Namun kemudian di antara dua umat beragama itu terjadi konflik terbuka dengan intensitas yang tinggi dan berkepanjangan, sehingga banyak menelan korban jiwa dan harta benda. Banyak pakar yang berpendapat bahwa menghilangnya fungsi pela gandong karena intervensi Pemerintah, khususnya penerapan UU Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang yang sangat kental budaya Jawa Ini telah menghilangkan kekuasaan “raja negeri” (kepala desa tradisional). Padahal kelestarian adat lama, termasuk institusi pela gandong terletak di tangan “raja negeri”. Ciri-ciri lain dari undang-undang produk orde baru ini adalah “mengharamkan” perbedaan pendapat. Semua harus seragam sesuai dengan tuntutan dari pemerintah pusat. Menurut Nicola Frost (2004) sebagaimana dikutip Amri Marzali, undangundang ini menghilangkan kemampuan untuk mengkooptasi perbedaan yang sebelumnya hidup di dalam masyarakat Maluku. Padahal inti dari institusi pela gandong adalah pengakuan atas perbedaan dalam kesetaraan dengan cara membangun kerjasama yang positif. Institusi kerjasama ini, khususnya antara negeri Kristen dengan negeri islam yang telah menjadi kebanggaan dan ciri-ciri khas Maluku (Amri Marzali, 2005). Tentu saja, intervensi Pemerintah tersebut bukan satu-satunya faktor penyebab tidak fungsionalnya institusi pela gandong. Kedatangan transmigran tiga etnis – Buton, Bugis dan Makassar (BBM)–ke Ambon disinyalir menimbulkan ketidakseimbangan perjanjian antra dua negeri Muslim dan negeri Kristen
tersebut. Sementara konflik berdarah di Ambon tidak bisa diselesaikan dengan institusi yang pernah menjadi kebanggaan itu, sehingga mengundang inisiatif fihak pemerintah untuk
menyelesaikan konflik dengan jalan perdamaian. Namun perdamaian itu pun diragukan dapat menyelesaikian konflik. Karena setelah terjadi perdamaian, kekerasan masih kembali meletus. Secara alami kebijakan-kebijakan lokal pun muncul untuk mengatasi konflik, karena bagaimanapun juga ada saling ketergantungan sesama anggota masyarakat. Mereka yang terlibat kekerasan tetap saling membutuhkan. Mereka berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan cara saling membeli atau barter. Bahkan harta kekayaan yang tidak bisa bergerak atau tanah milik (property) pun dipertukarkan oleh mereka. Kebijakan lokal
seperti itu telah mengkondisikan mereka bisa hidup rukun kembali atau paling tidak, dapat
memperkecil kemungkinan terjadi kekerasan. Ini berarti masyarakat telah melakukan institutional development, yaitu memperbaharui institusi-institusi lama yang pernah berfungsi baik, bukan membangun lagi pela gandong seperti bentuk aslinya. Dengan kata lain masyarakat Ambon telah melakukan rekacipta pela-gandong yang baru, yang tepat guna untuk menjawab tantangan sosial-politik masa kini di Maluku (Amri Marzali, 2005).
Upaya-upaya menyelesaikan, meredam dan mengantisipasi terjadinya konflik atau dalam upaya memelihara kerukunan antarumat beragama dengan konservasi, revitalisasi dan rekacipta kearifan lokal ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Ambon saja, tetapi juga dilakukan oleh berbagai masyarakat di berbagai daerah. Sebagai bangsa yang memiliki banyak pengalaman tentang upaya pemeliharaan kemajemukan di bawah kebijaksanaan para pendiri bangsa baik berupa budaya maupun kearifan lokal, dewasa ini kebijakan pembangunan agama semakin banyak melibatkan masyarakat dan upaya revitalisasi kearifan lokal. Sehubungan dengan upaya konservasi, revitalisasi maupun rekacipta kearifan lokal, Harmoni nomor ini dengan tema “Kearifan Lokal sebagai Landasan Pembangunan Bangsa” menampilkan tulisan M. Ridwan Lubis, “Kebijakan Pembangunan Agama di Indonesia dalam Lintasan Sejarah”, Marwan Salahuddin, “Konservasi Budaya Lokal dalam Pembentukan Harmoni Sosial”, A. Syafi’i Mufid, “Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Pemberdayaan
Masyarakat”, M. Yusuf Asry, “Membedah Forum Kerukunan Umat Beragama: Studi tentang Konsistensi Organisasi dan Tugas FKUB Provinsi Sumatera Utara”, dan Haidlor Ali Ahmad, “Peranan FKUB Sulawesi Tengah dan FKUB Kabupaten Poso”. Selain tulisan tersebut, Harmoni menurunkan beberapa tulisan lainnya, yang ada relevansinya dengan tugas dan fungsi (tusi) Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Artikel tersebut ditulis oleh Abd. Rahman Masud, “Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah, Two ofIndonesia’s Muslim Giants: Tension Within Intimacy (Harmony), Endang Turmudi, “Akar Konflik Etnik dan Agama di Thailand Selatan”. Selebihnya, beberapa artikel hasil penelitian dan telaah pustaka.
Sebagai penutup, Ketua Dewan Redaksi menginformasikan beberapa tambahan sebagaimana dianjurkan dalam panduan pengelolaan jurnal ilmiah yang dikeluarkan oleh Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) berupa (1) abstrak yang pada nomor sebelumnya hanya berbahasa Inggris saja, pada nomor ini ditambah abstrak berbahasa Indonesia; (2) Pedoman Penulisan Jurnal Harmoni.


Ruang Lingkup Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan fenomena yang luas dan komprehensif. Cakupan kearifan lokal cukup banyak dan beragam sehingga sulit dibatasi oleh ruang. Kearifan tradisional dan kearifan kini berbeda dengan kearifan lokal. Kearifan lokal lebih menekankan pada tempat dan lokalitas dari kearifan tersebut sehingga tidak harus merupakan sebuah kearifan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal bisa merupakan kearifan yang belum lama muncul dalam suatu komunitas sebagai hasil dari interaksinya dengan lingkungan alam dan interaksinya dengan masyarakat serta budaya lain. Oleh karena itu,
kearifan lokal tidak selalu bersifat tradisional karena dia dapat mencakup kearifan masa kini dan karena itu pula lebih luas maknanya daripada kearifan tradisional.
Untuk membedakan kearifan lokal yang baru saja muncul dengan kearifan lokal
yang sudah lama dikenal komunitas tersebut, dapat digunakan istilah: kearifan kini, kearifan baru, atau kearifan kontemporer. Kearifan tradisional dapat disebut kearifan dulu atau kearifan lama. Dilihat dari keasliannya, kearifan lokal bisa dalam bentuk aslinya maupun dalam bentuk reka cipta ulang (institutional). Esensi kemajuan yang dicapai berbagai bangsa tersebut menunjukkan bahwa pengembangan karakter suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari aspek budaya yang selaras dengan karakteristik masyarakat bangsa itu sendiri. Budaya yang digali dari kearifan lokal bukanlah penghambat kemajuan dalam era global, namun justru menjadi penyaring budaya dan kekuatan transformasional yang luar biasa dalam meraih kejayaan bangsa. Oleh karena itu, menggali nilai-nilai kearifan lokal merupakan upaya strategis dalam membangun karakter bangsa di era global. Kearifan lokal, dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan setempat (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (localgenious). Ketiganya merujuk pada bentuk pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Konsepsi yang disebutkan terakhir adalah bahasan yang paling sering dijumpai dan dikupas saat ini.
Berdasarkan waktu pemunculan tersebut di atas, akan hadir kearifan dalam kategori yang beragam. Dalam hal ini terdapat dua jenis kearifan lokal, yaitu: (1) kearifan lokal klasik, lama, tradisional, dan; dan (2) kearifan lokal baru, masa kini, kontemporer. Dari sisi filosofi dasarnya, kearifan dapat dikategorikan dalam dua aspek, yaitu: (1) gagasan, pemikiran, akal budi yang bersifat abstrak; dan (2) kearifan lokal yang berupa hal-hal konkret, dapat dilihat. Kearifan lokal kategori gagasan mencakup: berbagai pengetahuan, pandangan, nilai serta praktik- praktik dari sebuah komunitas baik yang diperoleh dari generasi sebelumnya dari komunitas tersebut maupun yang didapat oleh komunitas tersebut di masa kini, yang tidak berasal dari generasi sebelumnya, tetapi dari berbagai pengalaman di masa kini, termasuk juga dari kontaknya dengan masyarakat atau budaya lain.
Kearifan lokal kategori hal konkret biasanya berupa benda-benda artefak, yang
menghiasi hidup manusia, dan bermakna simbolik. Di Indonesia, kearifan lokal jelas mempunyai makna positif karena kearifan selalu dimaknai secara baik atau positif. Pemilihan kata kearifan lokal disadari atau tidak merupakan sebuah strategi untuk membangun, menciptakan citra yang lebih baik mengenai pengetahuan lokal yang memang tidak selalu
orang lantas bersedia menghargai pengetahuan tradisional, pengetahuan lokal warisan nenek moyang dan kemudian bersedia bersusah payah memahaminya untuk bisa memperoleh berbagai kearifan yang ada dalam suatu komunitas, yang mungkin relevan untuk kehidupan manusia di masa kini dan di masa yang akan datang. Dalam setiap jengkal hidup manusia selalu ada kearifan lokal. Kearifan lokal dapat muncul pada: (1) pemikiran, (2) sikap, dan (3) perilaku. Ketiganya hampir dipisahkan. Jika ketiganya ada yang timpang, maka kearifan lokal tersebut semakin pudar. Dalam pemikiran, sering terdapat akhlak mulia, berbudi luhur, Tetapi kalau mobah mosik, solah bawa, tidak baik juga dianggap tidak arif, apalagi kalau tindakannya serba tidak terpuji. Apa saja dapat tercakup dalam kearifan lokal.
Paling tidak cakupan luas kearifan lokal dapat meliputi: (1) pemikiran, sikap, dan tindakan berbahasa, berolah seni, dan bersastra, misalnya karya-karya sastra yang bernuansa filsafat dan niti (wulang); (2) pemikiran, sikap, dan tindakan dalam berbagai artefak budaya, misalnya keris, candi, dekorasi, lukisan, dan sebagainya; dan (3) pemikiran, sikap, dan tindakan sosial bermasyarakat, seperti unggah- ungguh, sopan santun, dan udanegara. Secara garis besar, kearifan lokal terdiri dari hal-hal yang tidak kasat mata (intangible) dan hal-hal yang kasat mata (tangible). Kearifan yang tidak kasat mata berupa gagasan mulia untuk membangun diri, menyiapkan hidup lebih bijaksana, dan berkarakter mulia. Sebaliknya, kearifan yang berupa hal-hal fisik dan simbolik patut ditafsirkan kembali agar mudah diimplementasikan ke dalam kehidupan. Dilihat dari jenisnya, local wisdom dapat diklasifikasikan menjadi lima kategori, yaitu makanan, pengobatan, teknik produksi, industri rumah tangga, dan pakaian. Klasifikasi ini tentu saja tidak tepat sebab masih banyak hal lain yang mungkin jauh lebih penting. Oleh sebab itu, kearifan lokal tidak dapat dibatasi atau dikotak-kotak. Kategorisasi lebih kompleks dikemukakan Wagiran (2010) yang meliputi pertanian, kerajinan tangan, pengobatan herbal, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, perdagangan, seni budaya, bahasa daerah, philosophi, agama dan budaya serta makanan tradisional.













Contoh Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah warisan masa lalu yang berasal dari leluhur, yang tidak hanya terdapat dalam sastra tradisional (sastra lisan atau sastra tulis) sebagai refleksi masyarakat penuturnya, tetapi terdapat dalam berbagai bidang kehidupan nyata, seperti filosofi dan pandangan hidup, kesehatan, dan arsitektur. Dalam dialektika hidup-mati (sesuatu yang hidup akan mati), tanpa pelestarian dan revitalisasi, kearifan lokal pun suatu saat akan mati. Bisa jadi, nasib kearifan lokal mirip pusaka warisan leluhur, yang setelah sekian generasi akan lapuk dimakan rayap. Sekarang pun tanda pelapukan kearifan lokal makin kuat terbaca. Kearifan lokal acap kali terkalahkan oleh sikap masyarakat yang makin pragmatis, yang akhirnya lebih berpihak pada tekanan dan kebutuhan ekonomi. Sebagai contoh, di salah satu wilayah hutan di Jawa Barat, mitos pengeramatan hutan yang sesungguhnya bertujuan melestarikan hutan/alam telah kehilangan tuahnya sehingga masyarakat sekitar dengan masa bodoh membabat dan mengubahnya menjadi lahan untuk berkebun sayur (Kompas, 23  April 2011). Ungkapan Jawa tradisional mangan ora mangan waton kumpul (‘biar tidak makan yang penting berkumpul [dengan keluarga]’) sekarang pun makin kehilangan maknanya: banyak perempuan di pedesaan yang berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk bekerja di mancanegara dengan risiko terpisah dari keluarga daripada hidup menanggung kemiskinan dan kelaparan.
     Kearifan lokal hanya akan abadi kalau kearifan lokal terimplementasikan dalam kehidupan konkret sehari-hari sehingga mampu merespons dan menjawab arus zaman yang telah berubah. Kearifan lokal juga harus terimplementasikan dalam kebijakan negara, misalnya dengan menerapkan kebijakan ekonomi yang berasaskan gotong royong dan kekeluargaan sebagai salah satu wujud kearifan lokal kita. Untuk mencapai itu, perlu implementasi ideologi negara (yakni Pancasila) dalam berbagai kebijakan negara. Dengan demikian, kearifan lokal akan efektif berfungsi sebagai senjata—tidak sekadar pusaka—yang membekali masyarakatnya dalam merespons dan menjawab arus zaman.
     Revitalisasi kearifan lokal dalam merespons berbagai persoalan akut bangsa dan negara ini, seperti korupsi, kemiskinan, dan kesenjangan sosial hanya akan berjalan dengan dukungan kebijakan negara dan keteladanan. Tanpa itu, kearifan lokal hanya merupakan aksesori budaya yang tidak bermakna. Kearifan lokal di banyak daerah pada umumnya mengajarkan budaya malu (jika berbuat salah). Akan tetapi, dalam realitas sekarang, budaya malu itu telah luntur. Peraturan yang ada pun kadang-kadang memberi peluang kepada seorang terpidana atau bekas terpidana untuk menduduki jabatan publik. Jadi, budaya malu sebagai bagian dari kearifan lokal semestinya dapat direvitalisasi untuk memerangi korupsi, apalagi dalam agama pun dikenal konsep halal—haram (uang yang diperoleh dari korupsi adalah haram).
     Di antara berbagai penggerusan kearifan lokal saat ini, di sisi lain kita masih menyaksikan pemanfaatan kearifan lokal, misalnya di dunia medis terjadi pengembangan obat herbal yang merupakan warisan leluhur di bidang medis yang kemudian disempurnakan dengan standar farmakologi yang berlaku. Jadi, itu adalah salah satu wujud kearifan lokal yang telah memperoleh revitalisasi dalam masyarakat.
     Di tengah derasnya arus investasi asing di bidang kuliner yang merambah ke negeri ini (seperti Kentucky Fried Chicken, Mc Donald, dan Pizza Hut), kita masih dapat menyaksikan menu kuliner lokal (masakan Sunda, Padang, dan Yogya) tetap  eksis dan sebagian hadir dalam tata kelola restoran modern. Itu adalah revitalisasi kearifan lokal di bidang kuliner.
     Sementara itu, gotong royong sebagai wujud kearifan lokal kita tampaknya belum terimplementasikan dalam perekonomian nasional yang makin didominasi oleh asing dan perusahaan multinasional dengan semangat neoliberalisme dan neokapitalisme. Perekonomian nasional yang berpijak dan tumbuh dari rakyat setidaknya mencerminkan identitas dan nasionalisme kita. Ketergantungan ekonomi pada asing akan menyebabkan kita dengan mudah didikte oleh kekuatan ekonomi dan politik asing dan hal itu akan mencederai kedaulatan kita sebagai bangsa.




DAFTAR PUSTAKA





www.etnomusikologiusu.com/artikel-kearifan-lokal.html